Lelaki Yang Kembali Menemui Iblis

Diposting oleh Summer Coffee on Rabu, 21 Maret 2012


Laki-laki itu kembali datang menemui Iblis. Dengan asa yang terluka dia mengadu, dongkol berat karena di halang-halangi untuk bertobat. Masjid, mushala, dan tempat-tempat ibadah lain menutup pintu rapat-rapat. Para pemuka agama menatap curiga. Orang-orang menjauh, takut terciprat najis. Pekatnya masa lalu dan pengucilan panjangnya membuat mereka tak punya alasan untuk merasa nyaman di dekatnya.

Lelaki itu kembali mendatangi Iblis. Dan, penguasa kegelapan itu terkekeh saat ia tak cuma mengusung adu, tapi juga sesal. “Maaf,” katanya, Aku kembali pulang kehadapan Tuan. Menyesal telah mengumpat Tuan dalam salat-salatku, mengutuk Tuan di tiap doaku....”

Iblis kembali terbahak. Hati lelaki itu seketika menciut. Dulu ia pernah merasakan hal serupa saat Tuhan menegur dan menyapa di keheningan tobat dan munajatnya yang menggemuruh di pengasingan. Namun, ia merasa Tuhan terlalu cepat di rampas dari dekapan kala pengasingan berakhir dan ia kembali menapaki keriuhan dunia yang, celakanya, menyambut dengan cibiran dan hinaan.

Ia bersikeras menyeru, tapi Tuhan terlanjur dikunci rapat di ruang-ruang masjid, di monopoli kaum agamawan, di patenkan oleh organisasi agama.

Patah arang, ia teringat sahabat terbaik di kepekatan masa lalunya, Iblis. Dan si sahabat menyambutnya dengan keramahan sempurna.

Sang 'sahabat' masih saja tergelak tawa. “Engkau tak perlu melawan takdirmu...” ujarnya kemudian. Lembut, pelan, tapi tegas berwibawa. Ujarannya menyiratkan kisah lama dari masa lalu yang tercabik dan tersia-sia.

Dulu, layaknya lelaki itu, Iblis juga pernah mencoba hal serupa: berniat tobat. Ia kunjungi para pemuka agama. Mohon petunjuk bagaimana cara agar tobat bisa di terima dan segala dosa di ampuni oleh tuhan.
Tentu saja mereka kaget. Juga bingung! Betapa tidak,jika tobat Iblis di terima Tuhan dan mereka beralih menjadi makhluk yang baik layaknya malaikat, lalu apa gunanya perintah membaca doa-doa kutukan atas iblis dan doa mohon perlindungan dari segala godaan setan yang terkutuk?

Para pemuka agama-agama rata mengerutkan dahi. Bingung dan galau. Mereka mengkhawatirkan kekosongan peran antagonis, tokoh kejahatan, sepeninggal Iblis dan para setan. Tanpa kejahatan, kebaikan tak akan lagi bermakna. Bila iblis tobat dan para setan sepakat insaf, dunia praktis akan monoton. Penjara tutup, pengadian kehabisan order, serta polisi, jaksa dan hakim bakal pensiun masal. Neraka dan surga tak lagi berperan dalam memotivasi orang-orang untuk berbuat baik.

Tak pelak, para pemuka agama itu pun kompak menolak niat baik iblis itu. Semua jalan tobat di blokade. Dan iblis mereka biarkan terkunci rapat dalam kegelapan abadi.

Dan rutinitas pun berlanjut. Iblis terus di cerca, di persalahkan, di hakimi di setiap tempat, dimaki dan cela sebagai biang dari segala keladi dan kerok. Tak berhenti sampai disitu, para iblis juga di kutuk dalam aneka ritual yang rajin di langsungkan oleg para pecinta agama.

“Ketahuilah,” kata Iblis tersenyum, getir. “Aku sendiri lelah dan bosan menghuni kegelapan. Sepertimu, aku juga ingin berdamai dengan kebaikan. Tapi, Tuhan Yang Mahakasih telah memilihkan takdirku yang tak mungkin bisa kulawan. DIA telah memberikan makna bagi hidupku sebagai penguasa tunggal kejahatan. Aku lalu tersadar, justru melalui kejahatan inilah aku beribadah mengagungkan-NYA....”

“Kukorbankan diriku dalam laknat Tuhan hanya agar manusia mengerti dan mau belajar betapa beda putih dan hitam, antara cahaya dan kegelapan, kebaikan dan kejahatan. Aku tak pernah dendam kepada moyangmu, Adam, yang telah membuat Tuhan murka dan mengusirku. Hanya agar manusia mengerti pentingnya menjaga amanah...”

“Kehadiranku di butuhkan untuk mengenali kebaikan. Jiwaku yang terselimuti kegelapan, justru agar manusia sadar akan cahaya terang keagungan Tuhan. Itu adalah mau Tuhan, karena hanya dengan itu manusia mengerti kebaikan.....”
“Engkau tidak sendiri. Mendekatlah...”

Begitulah, sejak saat itu laki-laki itu rutin mengunjungi iblis, dimana penggenggam kegelapan itu bertahta dan para setan menyelenggarakan pesta. Dan iblis menyambutnya dengan penuh hormat. Di tengah mereka, ia justru di terima sebagai manusia, sungguh-sungguh manusia. Bersama para Iblis itu juga, lelaki itu menemukan nasib yang sama: makhluk terbuang yang tercampak dari kehidupan.

Atas nama kesamaan nasib itulah, lelaki itu lalu memutuskan untuk mengasah golok. Dan Iblis telah memberikan daftar orang-orang yang harus di tebas. Ketika di tanya mengapa, Iblis hanya menjawab, ia tak suka kemunafikan. Iblis jahat dan tak pernah menolak di sebut jahat. Tapi orang-orang di daftar kematian itu sudah jelas salah, tapi tak pernah merasa salah. Menutupi belang dengan senyum, menekuk kebenaran, menjungkirbalikkan kenyataan.

Lelaki itu masih tak paham, ia terlalu lugu untuk mengerti semuanya. Yang ia tahu gerbang kebaikan baginya telah tertutup, hanya satu pintu yang masih terbuka lebar: kembali ke dekapan Iblis.

Golok di tangan berkilauan lapar. Ia pun mulai menebar teror. Menebarkannya di siang yang kerontang, di malm yang mencekam. Aroma kematian merebak memenuhi udara. Satu demi satu orang dalam daftar kematian itu terkapar menjemput ajal. Darah menyembur, menggenangi jalan-jalan. Orang-orang mulai berlarian, bernafas panik, cemas-khawatir menjadi giliran berikutnya.

Keganasan membuncah. Mengepung hari, siang dan malam. Ketakutan menyelimuti semua orang. Semuanya terseret dalam alur cerita yang telah di rancang oleh Iblis.

Udara mengalir lambat. Waktu seolah berhenti seketika. Ruang membuntu...
Pagi yang basah. Fajar belum menyentuh tanah. Jasad lelaki sahabat Iblis itu tergolek di perempatan lampu merah. Tubuhnya bersimbah darah. Penuh luka dan sayatan seolah hedak menegaskan pesan. Golok yang masih di genggaman hanya tiggal gagang, bilahnya patah berkeping menjadi lima bagian. Matahari mulai nampak, kian banyak orang yang merubung. Hikmat mengantar lelaki itu menjemput sepi. Laki-laki yang menjemput ajalnya sendiri.

Related Post:

Komentari

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar