Catatan Perjalanan Aremania, Fenomena Malang dan Aremania

Diposting oleh Summer Coffee on Sabtu, 05 Mei 2012

Foto: Aremania Transformes

Malangkah nasib Arema? Bisa ya, bisa tidak. Tergantung dilihat dari sisi apa. Klub berjuluk Singo Edan yang bermarkas di Kota Apel itu memang “kaya” segala-galanya. Termasuk kaya masalah. Dana terutama. Sebuah stereotip klub-klub peserta LI.


Kesebelasan Arema Malang, punya ikatan emosional yang kuat dengan para suporternya.

Manajer Arema di LI VI, Gandi Yogatama, cuma tertawa ketika dimintai penjelasan seputar nasib Arema. “Ya, seperti inilah kami. Tenar dan seolah punya nama besar, tapi faktanya selalu kesulitan dana. Para pemain pun tampaknya sudah biasa hidup dalam situasi begini,” ujar direktur teknik PDAM Malang yang sempat memimpin Persema ini.
Jangan heran misalnya, ada satu momen satu hari menjelang partai tandang, Arema belum punya ongkos sepeser pun. Di Jayapura, saat Joko Susilo dkk. usai tampil melawan Persipura dan mesti terbang ke Makassar, hal serupa terjadi.

Gaji Kecil
“Tapi, satu hal yang pasti, pemain tak perlu tahu soal ini. Konsentrasi mereka cuma main bagus, itu saja. Soal duit, urusan pengurus,” lanjut Gandi.
Nyamankah tinggal di klub seperti ini? Entahlah. Fakta berbicara, bahkan pemain asing sekelas Rodrigo Araya pun rela meninggalkan Persma Manado dan malah main di Malang.
“Padahal, gaji saya sekarang lebih kecil dibanding saat membela Persma. Teman saya, Juan Rubio, bilang, ‘atmosfer sepakbola Malang luar biasa’. Saya sudah membuktikannya,” ujar bintang asal Cili tersebut.
“Soal gaji sering terlambat, sudah biasa, Mas. Tak soal gaji saya sekarang lebih kecil dibanding saat membela Persija di LI IV,” kata Joko, yang menyebut fanatisme dan iklim kekeluargaan menjadi modal utama klubnya.
Fanatisme itu kadang terasa berlebihan. Misalnya saat pemain gelandang Nanang Supriyadi dipinang Persikota. Beberapa suporter tak terima. Mereka nekat menjemput Nanang di Tangerang dan membawanya pulang ke Malang!
“Tadinya saya ingin cari nuansa baru, tapi melihat dukungan suporter seperti itu, saya jadi terharu,” tutur Nanang.

Kurang Laku
Para Aremania itu membayar “pemaksaannya” terhadap pemain dengan dukungan yang sebanding. Di bawah siraman hujan, tanpa kenal lelah mereka bernyanyi, menari, dan terus memberi semangat. Fanatisme juga merembes ke seluruh pelosok Malang, kotamadya maupun kabupaten, serta pada Aremania yang tengah mencari penghidupan di seluruh pelosok Nusantara.
Pendek kata, apa pun yang tengah terjadi di dalam keluarga Arema, seluruh Aremania mengkopinya. Seperti isu paling gres, saat tim asuhan M. Basri itu berniat merekrut striker asal Montenegro, Dejan Gluscevic.
Dengan kekuatan seperti itu, mustahil Arema tak laku dijual kepada sponsor. “Tapi, hasilnya belum memuaskan juga. Padahal, kami sudah memasukkan proposal ke perusahaan-perusahaan besar di sekitar Malang,” sebut Eko Subekti, Sekretaris Yayasan Arema, lembaga bentukan tokoh bola Acub Zainal.
Tentu ada yang tidak beres. Apakah Arema yang tak laku, kurang detail dalam menyajikan proposal layaknya klub-klub bonafid, atau justru citra LI secara umum yang melemahkan nilai Arema?
Fenomena ini yang jadi PR kita bersama. Sungguh ironis bila tim sepopuler Arema mengalami nasib malang. Kini, tanggung jawab sementara dititikberatkan pada pemain. Lewat prestasi, mereka diharap mampu mengkatrol nilai jual timnya.
“Insya Allah kami bisa mewujudkannya,” ucap I Putu
Gede, andalan Arema.

Sigit Nugroho/Anang
Prihasto/Foto: Dwi Ary Setyadi-

Related Post:

Komentari

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar