Tomorrow Never Come (Cerpen)

Diposting oleh Summer Coffee on Selasa, 27 Maret 2012


"Ternyata aku memang mencintainya. Dan sekarang aku merasa yakin kalau rasa ini memang hanya untuknya. Sosok yang begitu sederhana. Alasan itulah yang membuatku selama ini tak berani meneruskan rasa ini".

***

AKU, seorang anak dari keluarga terpandang. Tak mungkin bisa jatuh cinta pada wanita yang hanya lulusan SMA. Tak mungkin berniat serius dengan anak seorang pemilik warung pinggir jalan seperti dia.

6 bulan aku tetap bersikukuh pada pemikiranku. Sungguh aku tak mungkin bersama dia. Dan aku yakin bisa menghilangkan rasa yang sebenarnya t'lah tumbuh sejak pertama bertemu dengannya. Sampai hari ini tiba.

Keyakinanku goyah. Ternyata semua prediksiku salah. Aku tak bisa melupakannya. Terlebih akhir-akhir ini. Entah apa yg membuatku begitu mengaguminya. Hingga sanggup menyita waktu dan pikiranku karena selalu terfokus padanya. Dia adalah Rani.

Aku merasa berbeda dengannya. Walaupun sebelumnya ada banyak penyangkalan dan pemikiran rasional atas perasaanku padanya. Sungguh kini aku mengerti bahwa cinta itu tak memandang kedudukan atau materi. Karena cinta adalah hati. Dan hati tak bisa membohongi bahwa sebenarnya aku mencintai Rani.

***

Saat itu aku melihatnya sedang membantu seorang nenek menyeberang di jalan raya yang memang sangat ramai. Entah kenapa tiba-tiba saja aku menghentikan laju motorku hanya karena penasaran dan ingin mengikutinya. Ternyata, dia masuk di sebuah warung pinggir jalan yg tak jauh dari tempatku berdiri. Tanpa sadar, hampir dua jam aku disana memandang dan mengamatinya diam-diam.

Dan hal itu berlanjut terus-menerus hingga satu minggu. Aku tetap berdiri disana. Sampai pada hari ke delapan pengintaianku, aku memutuskn untuk makan di warung tersebut. Sebuah keputusan yang sulit. Tapi toh akhirnya aku masuk juga. Karena aku hanya ingin menemukan jawaban atas kelakuan anehku dalam seminggu ini. Dan akhirnya semua terjawab. Kesehajaannya, semangatnya, rasa percaya dirinya, keramahannya, juga senyumnya. Aku benar-benar terpesona olehnya.

Hingga waktu dengan cepat berlalu. Kini aku seakan merasa begitu dekat dengan keluarga Rani. Di samping perasaanku padanya yang semakin tumbuh subur. Tapi seperti apa yang ku ungkapkan sebelumnya, aku tak berani mengakui kalau ini adalah cinta, hanya karena status sosial dan keadaan Rani yang sangat sederhana.

***

Semalaman aku berpikir keras tentang perasaan ini. Akhirnya aku putuskan untuk mengubahnya. Karena aku memang tak bisa membohongi perasaan ini. Kuyakinkan hatiku. Yah, aku sudah mantap dengan pilihanku. Hari ini aku akan mengungkapkan perasaanku pada Rani. Aku sudah tau banyak tentang latar belakang Rani. Studinya mandek bukan karena otak Rani tak mampu, tapi karena dia mengalah untuk adik-adiknya. Tapi itu semua tak membuatnya berhenti untuk belajar. Rasa ingin tahunya sangat tinggi, membuatku semakin yakin dengan keputusan yang ku ambil.

Segera kupacu motorku dengan hati yang tak menentu. Tapi aku tetap yakin dengan diriku. Dan takkan merubahnya. Berharap hati ini tak lagi bimbang setelah aku ungkapkan semuanya pada rani.

Setelah tikungan itu, aku akan segera sampai, tapi upss !! Nyaris saja aku menabrak nenek yang akan menyeberang. Tapi beruntung motor yang ku kendarai berhenti pada saat yang tepat sebelum sempat menabrak pohon besar di pinggir jalan itu.

"Huff..," Aku menarik nafas lega. Aku beranjak dari motorku. Hanya ingin memastikan keadaan nenek itu. Dan kelihatannya dia baik-baik saja. Dan terlihat sudah banyak orang yang datang menolongnya. Termasuk Rani. Dia segera memeluk nenek itu sebelum dia menjerit dengan kerasnya. Aku heran melihatnya. Apa yang terjadi dengan Rani. Tatapannya terus mengarah ke motorku sambil meneteskan air mata. Aku tak mengerti, segera ku dekati Rani. Gadis yang padanya akan ku panah hatinya dengan panah cintaku hari ini juga.

Aku tak tahan melihatnya terus menangis. Tapi seakan dia tak melihatku, terus berlari dan mendekati motorku. Ternyata ada banyak orang disana, menarik tubuh seorang lelaki yang bersimbah darah di sekujur tubuhnya. Aku penasaran dan berjalan mendekat, melihat rani masih terus menangis. Lalu aku melihat wajah lelaki itu, penuh darah, tapi aku masih bisa mengenalinya. Dia adalah Aku.

Related Post:

Komentari

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar