Beberapa menit yang lalu, secangkir kopi itu masih terlihat mengepul, hangat. Tapi mungkin sekarang sudah dingin. Seseorang yang memesan minuman itu beberapa menit yang lalu tak kunjung meminumnya. Apalagi di luar sedang hujan. Ya, hujan memang mendinginkan semuanya. Temasuk sikap kami berdua.
Matanya masih tajam menatap hujan yang turun di luar jendela. Seolah-olah, dengan tatapannya itu hujan bisa langsung berhenti, lalu dia bisa meminta pulang, dan kabur dari pertanyaanku. Pertanyaanku bukan sesuatu yang sulit untuk di jawab, menurutku. Bahkan, aku tak mengerti apa yang membuatnya berpikir selama ini untuk menjawab pertanyaanku.
"Kalau kamu berada di posisiku, aku tak yakin kamu bisa menjawab pertanyaan ini lebih cepat dari aku. Aku butuh waktu," katanya. aku menghela nafas panjang.
"Jangan berandai-andai, kamu yang berada di posisimu, bukan aku. Kamu yang akan pergi ke Australia, bukan aku. Kamu yang akan meninggalkan sahabatmu, bukan aku. Kamu juga yang harus menjawab pertanyaan ini, bukan aku".
Dia menatapku, mungkin dia merasa ini bukan aku. Sebenarnya aku pun begitu. Barangkali hujan memang bisa merubah semuanya dalam sekejap.
***
Sejujurnya, tanpa bertanya pun aku sudah tau jawabannya. Lewat mata itu, lewat tatapan itu. Setelah bersahabat sekian lama, aku jadi paham, bahwa sebuah jawaban tidak harus keluar dari mulut. Tapi lebih jauh lagi, aku membutuhkan jawaban yang tegas dan gamblang yang keluar dari mulutnya, bukan jawaban sorot mata yang multi tafsir seperti ini.
"Aku tidak paham apa yang kamu butuhkan dari pertanyaan ini. Bukankah sudah kuceritakan semua mimpiku, dan kamu mengerti tentang semuanya," ujarnya sambil menerawang hujan lagi.
Aku tenggelam dalam flashback-ku sendiri. Cerita ini sungguh tidak pernah basi. Kami selalu mengulanginya setiap hari. Kami ingin pergi ke luar negeri, terserah yang sebelah mana, yang jelas 'luar negeri' yang bisa memberi kami pandangan dan sesuatu yang baru, 'luar negeri' yang bisa membuat kami mandiri, dan 'luar negeri' yang bisa membuat kami mendapat sesuatu, apapun itu, entah pengetahuan atau apa saja.
Sampai suatu hari, Nadia menunjukkan sebuah amplop tebal berisi surat. entah surat apa. Di surat itu tetulis beberapa kalimat, yang aku ingat hanya ada tulisan "Nadia", "Australia", "University", dan entah apa lagi, aku tidak ingat. lebih tepatnya tidak ingin mengingat-ingat. yang jelas pada saat itu aku merasa semua kata-kata itu tidak sinkron. otakku susah payah membuatnya sinkron saat aku membaca surat itu. Pada saat bersamaan, Nadia yang berdiri di depanku melontarkan puluhan sumpah dan bukti bahwa bukan ia yang mendaftarkan dirinya disana.
Entahlah, apapun yang di katakan Nadia saat itu memang terasa janggal. Tapi sahabatku, sahabat terbaikku, tidak mungkin berbohong. Akhirnya, kebenaran mulai menampakkan wajahnya. Terungkaplah bahwa ayahnya yang mendaftarkan Nadia untuk berkuliah di australia. Namun, seberapa benar kabar itu, aku terlanjur merasa tidak senang. Surat itu terasa seperti sebuah pengkhianatan. Atas apa? aku juga tidak tahu.
"Aku tidak pernah lupa mimpi kita, Kev," ucapnya membuyarkan flashbackku.
"Sungguh kalau aku bisa, aku ingin pergi kesana bersamamu. Menimba ilmu bersama, mencari pengalaman baru bersama," tambahnya.
Sejenak aku terdiam, aku berpikir tentang apa yang telah ku lakukan pada Nadia. Apa yang aku permasalahkan dari kepergian Nadia ke australia? Apa aku iri? Merasa tersaingi? Membebani Nadia dengan pertanyaan hanya karena rasa iri? Hanya agar Nadia merasa bersalah meninggalkanku sendiri disini, di kota kecil di negeri ini? Apa benar ini aku? Aku sahabat Nadia?
Lalu aku kembali, dan aku sadar telah menjadi monster sore ini bagi Nadia.
"Apa aku perlu membatalkan kepergianku?" tanyanya.
Aku terkejut. Aku butuh jawaban, bukan pertanyaan balik seperti ini. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.
"Kamu harus tetap pergi. Maaf kalau aku terkesan membebanimu. Mungkin, aku cuma merasa iri dan tersaingi. Harusnya aku tahu, kamu selalu menang," jawabku.
Dia kembali menatapku. kaget barangkali. Ku minum lemon tea-ku sampai habis. Aku berdiri, aku harus pergi, mencari kesempatan itu mulai sekarang. Mengejar Nadia ke luar negeri. Aku tak boleh gagal lagi.
"Berjuang ya, Nad, kalau suatu saat nanti aku kesana, kamu harus mengajakku jalan-jalan. Keep in touch, ya" Nadia hanya tersenyum. Ku peluk dia hingga tanpa sadar air mataku jatuh tak tertahan.
Aku sudah kembali menjadi "Aku", bukan si pemberi pertanyaan itu lagi. Setelah itu, setelah kejelasan itu, langkahku agak terasa berat, tapi hatiku terasa ringan, bak kapas tertiup angin. Aku telah membiarkan sahabat terbaikku pergi untuk meraih dan mewujudkan mimpinya. Sementara aku, aku masih harus berjuang untuk mendapatkan kesempatan itu. Aku tidak boleh kalah lagi dari nadia.
***
Telephone genggamku bergetar, ada pesan masuk. tenyata dari Nadia.
"Australia tidak akan sejauh yang kamu bayangkan. Aku akan selalu mampir setiap hari di device-mu, entah itu laptop, hanphone atau apalah itu. Kita tetap bisa bersama setiap hari. Dan saat bersamaku, anggaplah kamu sedang berada di australia".
Dari kejauhan ku lihat matanya. dia masih menerawang hujan. Tapi aku yakin, dia tidak lagi memikirkan jawaban atas pertanyaanku tadi. Aku takkan lagi membebaninya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol itu lagi. Lagi pula, bukankah sebuah jawaban tidak harus keluar dari mulut. Dia tersenyum dari kejauhan. Dan langkah kami sudah seringan kapas lagi.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar