Cinta Itu Tak Luntur Karena Hujan

Diposting oleh Summer Coffee on Jumat, 20 Januari 2012

Setelah empat tahun lalu, saya kembali merasakan udara Jepang. Kesempatan itu tiba kembali. Tetap di momen yang sama. Mendampingi Arema berlaga di Liga Champion Asia.

Jelas sebuah pengalaman yang sarat makna. Betapa tidak, kali ini saya hadir bersama-sama tim juara Super Liga 2009-2010. Sementara ketika saya datang di tahun 2007 lalu, Arema hadir sebagai wakil juara Piala Indonesia. Lantas apa bedanya menjadi juara Super Liga dan Piala Indonesia?
Sekilas memang tidak terlalu ada yang beda. Toh, sama-sama ke Jepang, bertanding di laga LCA. Meski lawan yang dihadapi berbeda. Pada 2007 lalu, Arema dijamu Kawasaki Frontale di Todoroki Stadium Yokohama. Sementara kali ini, Cerezo Osaka, tim peringkat tiga pada J-League yang bakal menjamu Arema di Osaka Nagai Stadium.

Justru perbedaan itu saya rasakan ketika akan meninggalkan Kota Malang. Dulu, ketika kami berangkat dari mess pemain di Taman Rekreasi Sengkaling, nyaris tidak ada rombongan pengantar. Kecuali keluarga pemain yang memang biasa melepas keberangkatan pemain, seperti ghalibnya mereka akan away.

Kemarin, kondisi itu jauh bertolak belakang. Ratusan Aremania mengantarkan rombongan hingga batas kota. Mereka juga mengelu-elukan pemain ketika Noh Alam Shah dkk keluar dari mess pemain di Jalan Welirang. Sampai-sampai, Cak Mat yang biasa mengawal tim, harus membuka kerumunan Aremania untuk memberikan jalan kepada pemain bisa naik bus.

Mereka sepertinya tidak peduli dengan hujan deras yang menguyur Kota Malang saat kami berangkat. Bahkan dari kaca jendela bus, saya masih bisa melihat mereka tidak beranjak sampai bus hilang dari pandangan.

Saya pikir kondisi itu sudah selesai. Ternyata tidak. Itu baru permulaan. Setelah menikung dari Jalan Semeru ke Jalan Basuki Rahmat, ternyata ratusan suporter sudah menunggu. Puluhan – atau bahkan ratusan – sepeda motor yang mereka naiki, mengawal bus menembus derasnya air hujan.

Mereka tidak memakai jaket ataupun jas hujan. Mereka tetap menunjukkan kaos Aremania yang sangat mereka banggakan. Lengkap dengan syal dan bendera. Entah itu Sang Dwi Warna ataupun bendera biru, kebesaran Aremania.

Bendera yang syal yang basah oleh air hujan, tetap mereka coba kibarkan, sekalipun tidak segagah jika bendera itu dalam kondisi kering. Tapi mereka tetap bangga bisa mengawal dan menunjukkan pada pengguna jalan lainnya. ‘’Inilah tim kebanggaanku bakal lewat. Mereka akan berjuang atas nama negara. Mereka adalah wakil Indonesia di dunia internasional. Mereka adalah Arema Indonesia.’’

Di dalam bus, pemain dan ofisial melihat aksi Aremania dengan geleng-geleng kepala. Pak Sopir yang sebenarnya agak terganggu karena Aremania memenuhi hampir seluruh badan jalan, hanya bisa tersenyum. Apalagi Aremania juga bertindak sebagai ‘cucuk lampah’. Mereka akan meminta mobil yang berada di depan bus untuk minggir, agar kendaraan yang membawa orang-orang terpilih itu, bisa melintas dengan enak tanpa gangguan.

Hujan makin deras. Tapi pengawalan oleh Aremania tidak berkurang. Dari raut muka mereka yang mulai terlihat pucat lantaran menahan dingin terpaan angin dan air yang semakin deras, terlihat ada kebanggaan bisa mengantarkan tim kesayangannya berangkat. Mungkin mereka ingin menunjukkan dukungan terhadap Arema yang tak pernah luntur hanya karena hujan deras.

Pemandangan itulah yang terus berseliweran dalam benak saya sepanjang perjalanan. Baik ketika sedang di pesawat dalam perjalanan antara Surabaya – Kuala Lumpur. Ketika kami transit di Kuala Lumpur International Airport (KLIA) ataupun saat di pesawat Boeing 330 yang membawa kami menuju Kansai International Airport di Osaka Jepang.

Termasuk ketika saya menulis email ini dari atas pesawat yang terbang dalam ketinggian lebih dari 32 ribu kaki dari atas permukaan air laut. ‘Tarian’ Aremania yang mengawal bus pemain, benar-benar menari dalam benak. Lantas, apa yang bisa diberikan kepada mereka sebagai balasan perjuangan Aremania?
Mungkin Aremania yang mengawal bus pemain itu tidak butuh puja-puji. Mereka juga tidak berhitung sudah berapa bensin yang dikeluarkan, berapa banyak kekuatan tubuh mereka yang terkuras karena harus dipakai melawan dinginnya air hujan. Termasuk tidak berhitung tentang keselamatan mereka sendiri. Terpenting, ada sebuah kebanggaan jika bisa terus berdekatan dengan Arema Indonesia.

Mereka juga tidak diminta secara tertulis ataupun harus disogok dengan kaos plus sekadar nasi bungkus agar mau datang memberikan dukungan. Mereka juga tidak diperintah oleh kepala desa, kepala dinas atau pimpinan lainnya, agar mau datang dan meneriakkan yel-yel dukungan. Mereka datang dengan sebuah kesadaran dan kebanggaan, sebagai seorang Aremania.

Lantas, apakah rela ketika menyaksikan perjuangan dan pengorbanan Aremania, Rabu nanti saat dijamu Cerezo Osaka, skuad Singo Edan bakal tampil seadanya?

Diatas kertas, memang sulit untuk bisa meraih poin sempurna di Osaka Nagai Stadium. Bukan karena kasta J-League yang jauh di atas Super Liga. Bukan juga karena Jepang yang sedang musim dingin, sementara pemain terbiasa bermain dalam suhu di atas 25 derajat. Tapi bermain dengan hati, bermain seperti seekor singa yang tengah berperang mempertahankan harga diri, mungkin bisa membalas perjuangan Aremania. Semoga, kecintaan Aremania yang tak luntur karena hujan, juga tidak melunturkan semangat tanding Arema Indonesia. Apapun kondisinya.

Arema In Japan LCA 2010

sumber: indra@malang-post.com

Related Post:

Komentari

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar