“AKHIR tahun selalu membawa hal yang sama. Misalnya harapan bahwa tahun depan akan lebih baik. Tapi seringkali, setelah datang, ternyata sama saja. Kemajuan hanya harapan. Hanya perasaan kita yang berubah. Barangkali, memang disitulah peluangnya.”
Aku terkejut, aku menoleh kanan dan kiri. Siapa yang sudah mengatakan itu. Ternyata tak ada siapapun. Mungkin itu adalah pikiran-pikiranku sendiri setelah merenungi berbagai kejadian yang telah lewat. Setelah puluhan tahun jalan hidupku bergulir, tapi aku merasa hidupku seakan tidak bergerak, seakan seperti di paku ke atas dinding beton.
Dengan muka kuyu ku tatap isi rumah. Dinding yang itu-itu saja. Meja yang kemarin. Foto-foto yang sama. Tak ada yang berubah. Mungkin hanya cicak dan tokek yang berubah, silih berganti karena mati. Lainnya seperti abadi. Perlahan timbul pertanyaan. Apakah tahun benar-benar berganti, atau hanya berulang kembali, entahlah.
Wajahku melusuh diatas meja makan. Mama yang sedari tadi terlihat memperhatikanku nampaknya muali khawatir.
“Kenapa kamu, Sayang...?”
“Pusing?”
Aku mengangguk.
“Mau di pijit?”
“Ini bukan masuk angin, Ma. Tapi pikiran yang lagi kacau.”
Mama mengangguk.
“Kalau begitu jalan-jalanlah keluar rumah, siapa tahu bisa membuat pikiran kamu lebih tenang.”
Aku setuju. Setelah ganti pakaian, aku keluar rumah. Tapi setelah sampai di jalan aku bingung, tak tahu mau kemana. Waktu itu muncul Pak yusuf yang terlihat baru pulang dari masjid.
“Assalamualaikum Pak Yusuf, dari masjid ya....?”
“Waalaikum salam Gilang. Iya, saya habis sholat berjamaah di masjid, kamu sendiri mau kemana?
Aku menjawab malu.
“Tidak kemana-mana, mau makan angin saja. Menghilangkan perasaan sumpek”
“Kalau sumpek jangan makan angin. Nanti tambah pusing.”kata Pak Yusuf.
Aku tertawa.
Lama kita berbicara, hingga akhirya ku beranikan diri bertanya tentang sesuatu yang memang aku butuh jawaban yang kongkrit. Dan aku rasa Pak Yusuf orang yang tepat untuk pertanyaan ini.
“Begini Pak, saya Cuma tidak habis pikir. Kenapa semua terlihat sama dan tidak berubah. Tiap tahun kita ingin ada perbaikan, dan pastinya lebih baik. Tapi akhirnya selalu kecewa. Seakan-akan kita seperti naik mobil yang bannya kejeblos ke lumpur. Semakin kita gas, semakin roda memutar sangat kencang, tapi tetap tak beranjak dari tempatnya. Seperti itulah hidup yang saya rasakan. Ya kan Pak Yusuf?”
Pak Yusuf hanya tersenyum tipis.
“Gilang, biar saya jelaskan. Kamu tak pernah sadar bahwa saat kamu sedang menaiki mobil yang kejeblos. Sebenarnya kamu tidak berjalan di tempat, tapi kamu sedang masuk ke tanah yang lebih dalam, sampai dapat pijakan yang cukup kuat untuk mendorong mobil keluar dari lumpur. Kamu mungkin terlambat, tapi bukan berarti tidak ada gunanya. Sebab kalau tidak kejeblos lumpur siapa tahu, mungkin kamu mengalami kecelakaan, atau tertubruk truk barangkali, bisa jadi kan. Bersyukurlah, kamu sebenarnya sedang di selamatkan!”
Aku tersenyum. Merasa lega. Tapi jadi berfikir.
“Pak Yusuf...”
Aku mencoba memanggilnya karena ingin bertanya, tapi dia tidak menunggu. Pak Yusuf berlalu begitu saja. Melewati pertigaan menuju rumahnya dengan langkah yang terburu-buru tanpa menoleh. Aku jadi merinding.
“Apakah itu benar-benar Pak Yusuf, atau hanya pikiranku yang kacau...?”
Cepat aku berbalik pulang, batal cari angin. Aku langsung menghampiri Mama yang terlihat sedang menyiapkan makan malam.
“Sudah makan anginnya?”
“Nggak jadi.”
“Kenapa?”
Lantas ku ceritakan pada mama pertemuanku dengan Pak Yusuf.
“Pak Yusuf?”
“Ya.. kenapa Ma?”
“Bukannya Pak Yusuf telah kembali ke Jakarta beberapa hari yang lalu. Kecuali kalau dia sudah kembali lagi.”
“Mama tidak bercanda kan?”
Aku jadi penasaran. Segera aku bergegas menuju rumah Pak Yusuf yang tidak jauh dari rumahku. Aku hanya ingin memastikan apakah beliau memang sudah kembali apa belum.
“Ada yang bisa saya bantu?”
Aku menoleh. Pak Kusno, pembantu Pak Yusuf menyapaku.”
“Saya hanya ingin bertanya. Apakah Pak Yusuf sudah kembali?”
“Iya, dia sudah kembali.”
“Kapan?”
“Tadi!”
Aku pun lega. Ternyata yang ku ajak bicara tadi sore memang Pak Yusuf.
Aku jadi ingat perkataan Pak Yusuf, “Kamu tidak berjalan di tempat, kamu hanya membutuhkan pijakan yang kuat agar bisa keluar.” dan itu membuat perasaanku berubah. Sekarang aku yakin, bahwa aku tak berjalan di tempat.
Sampai di rumah, baru aku merasa perasaanku menjadi terang. Tak perlu lampu. Kalau pikiran terang segalanya akan menjadi terang. Aku masuk kedalam rumah dengan perasaan yang benar-benar berubah. Ku amati sekeliling. Dinding, meja, potret-potret di atas tembok tidak ada yang sama. Semuanya terasa baru. Lalu aku mencium bau gorengan tempe yang masih mengebul asap di atas meja. Itu bukan tempe yang bertahun-tahun lalu aku kunyah, itu tempe baru.
“Tak ada yang benar-benar sama. Semuanya berubah, kalau pikiran kita sehat. Tempe ini bukan tempe yang kemarin, tapi tempe baru yang yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Karena perasaan ku mengubahnya.” Kataku sambil mencomot lagi dua potong tempe.
Mama memandangku heran.
“Dasar anak Mama yang satu ini. Itu bukan tempe. Itu kan krupuk udang.”
Aku terkejut. Ku tatap baik-baik apa yang aku makan. Memang ini bukan tempe, melainkan krupuk udang. Tapi tetap tidak mengurangi kenikmatan yang kurasakan. Ya. Ternyata apa yang kupikirkan seharian di akhir tahun ini terjawab. Yang terpenting dari segalanya adalah perasaan. Selama kita punya perasaan dan di iringi dengan tindakan, hidup ini akan berubah.
***
Malam hari setelah semua orang tertidur, kulihat seakan tahun 2011 sedang menanggalkan pakaiannya untuk di serahakan pada 2012. Aku cepat bersimpuh dalam pikiranku, lalu berdoa.
“Aku tidak meminta apapun pada-Mu ya Tuhan, aku hanya mencari titik pandang, tempat aku mendengar kembali suaraku ini. Karena perhatianMu sudah lebih dari cukup. Adalah kami yang harusnya tidak hanya berpikir, merasa dan hanya berharap, tetapi kami harus segera berbuat dan bertindak untuk merubah segala yang kurang pantas ini, sampai terjadi apa yang kami impikan.”
“Tetapi, apa sebenarnya mimpi itu? Dan apakah harapanku sama dengan harapan ratusan juta orang di dunia ini?”
Tanpa berpikir panjang, besok aku merencanakan akan bertanya pada siapapun yang ku temui. Tentu saja, ini tentang harapan mereka.
“Mama hanya ingin kita selamat, sehat, di jauhkan dari segala hal yang buruk. Tidak perlu berharap telalu tinggi. Asal kita semua bahagia itu sudah lebih dari cukup.”
Kata Mama yang menjadi orang pertama ku cerca dengan pertanyaanku. Jawaban Mama mempesonaku. Memang singkat. Tapi dia jujur dari dalam hatinya. Aku bisa melihat itu dari ke dua matanya yang indah.
Aku semakin bersemangat untuk mendengarkan harapan orang lain tentang hidupnya. Tapi, ketika aku hendak melangkah ke luar, Mama mencegah.
“Jangan Cuma mendengar pendapat dan harapan orang lain, pendapat kamu sendiri apa?”
Aku tersenyum.
“Pendapatku tidak penting.” jawabku.
“Penting! Jangan nanti berpendapat setelah mendengar pendapat orang lain. Itu nyontek namanya. Atau kamu tidak punya harapan?”
Aku bengong. Tapi tiba-tiba muncul perasaan aneh ketika pandanganku mengamati Mama. Ku temukan apa yang tak pernah dan tak ingin ku lihat. Apa yang selalu ku lewati dan lupakan. Apa yang selalu ku hindari dan ku tunda. Aku menemukan uban yang telihat berserak di kepala Mama. Kerutan di leher dan di sudut matanya. Wajahnya yang polos tapi tertikam. Di balik kepolosan itu terlihat berbagai keinginan yang tak terwujud. Alangkah rentan kulit pipi yang dulu merah itu. Kini ia kusut dan tak mampu lagi menutupi apa yang menjadi kekecewaan dan hasratnya yang tak terpenuhi.
Aku tertunduk, sedih. Aku ingin menghapus semua itu. Membebaskan Mama dari kekecewaanya. Membuat Mama selalu tersenyum. Dan menjadikan Mama orang paling bahagia di dunia.
“Aku hanya ingin menjadi sesuatu yang berarti di keluarga ini, Ma. Setelah Papa tidak ada, aku sadar Mama berharap banyak pada ku. Bukan hanya melindungi. Tapi juga bertanggung jawab. Aku ingin Mama tidak menangis lagi setiap malam. Aku memang tak sehebat Papa. Tapi aku ingin memberi yang terbaik untuk keluarga ini dan Mama.”
Aku menunduk. Menahan air mata yang sebenarnya sudah tak kuasa untuk di tahan.
“Sudah, Nak.”
Mama memelukku.
“Mama tahu dan sangat mengerti apa yang kamu rasakan. Maafkan Mama yang telah menggantungkan segala harapan Mama kepadamu. Harusnya Mama tahu itu menjadi beban buat kamu. Dengan usiamu yang saat ini, harusnya kamu berhak mendapat kebebasan layaknya anak-anak yang lainnya.”
“Tidak ada yang perlu di sesali, Ma. Semua orang punya jalan hidupnya masing-masing. Dan aku tidak menyesal memilih jalan hidupku untuk selalu bersama Mama. Aku tidak peduli dengan adanya kebebasan dalam hidupku. Yang terpenting saat ini adalah membuat Mama selalu bahagia dan bangga terhadapku.”
Sembari menghapuskan kesedihan Mama. Ku usap perlahan air matanya. Mama tersenyum.
“Terimakasih sayang...”
“Terimakasih untuk apa Ma?”
“Terimakasih karena telah mengembalikan anakku seperti dulu.”
“Aku kan memang anak Mama dari dulu. Memang selama ini bukan?”
“Bukan! Karena sebagaimana umumnya, semua orang lain. Kemaren-kemaren kamu tidak menjadi diri kamu.”
“Lalu Mama sendiri?”
“Mama juga begitu. Kita semua sama.”
Aku tertegun. Dan berpikir. Mungkin memang benar, hanya beberapa detik dalam hidup kita yang panjang ini, kita benar-benar mampu menjadi diri kita. Tapi lumayanlah, paling tidak kebenaran itu masih mau datang. Walaupun mungkin tak pernah bisa kita miliki selamanya, karena hidup itu bergerak.
Dan untuk semua harapan kita, mimpi-mimpi kita, jangan pernah berhenti mengejarnya. Karena kita ditakdirkan untuk terus berlari dan menggapainya. Jika esok mimpimu belum terwujud, mungkin Tuhan tahu kamu belum siap untuk menerimanya. Dan aku percaya, akan ada balasan untuk semua yang kita lakukan. Untuk semua usaha kita. Dan air mata kita.
"NEVER GIVE UP...."
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar