Iklan produk tertentu memitoskan secara implisit bahwa keindahan adalah kulit putih sedangkan kulit hitam adalah bencana. Pokoknya luar negeri, bule, putih, itu ibarat malaikat. Sementara hitam mendekati keburukan setan.
Hal inipun akhirnya merasuk dalam persepakbolaan Indonesia, pemain naturalisasi yang berlatih di luar negeri, dengan model pelatihan negeri sepakbola yang lebih mapan, kita naturalisasi agar sepakbola kita (Insya Allah) menjadi lebih baik.
Demikianlah salah satu penyakit jiwa kita, seringkali menganggap apa-apa yang lahir dari rahim Indonesia itu sebuah keburukan dan bencana, serta sangat mengagungkan segala hal yang datangnya dari luar negeri.
Sebagai contoh, bila kita lihat pemain Jepang warnanya dicat warna-warni, ada yang coklat, putih, pirang, dan lain sebagainya, apakah ini berarti pemain Jepang yang mencoklatkan rambutnya adalah anak-anak dari suatu bangsa yang juga tidak PD pada dirinya sendiri?, Kita butuh ilmu tinggi untuk menjawabnya.
Contoh lain, Mike Tyson ketika bertanding dengan Lenox Lewis, dia bertinju dengan manis, sportif, lembut, dan sama sekali tidak seperti Tyson yang biasanya, yang brutal dan ultra agresif serta cenderung Animal Like. Ini terjadi gara-gara ada teori : kalau Tyson bisa mengendalikan dirinya, bisa menahan emosinya, bisa bersikap dewasa, maka ia tidak akan bisa dikalahkan oleh siapapun.
Teori ini menurut Cak Nun, bertentangan dengan teori psycho-budaya yang lain, bahwa Kalau engkau kehilangan karakter atau kepribadianmu, maka orang akan gampang mengalahkanmu. Dan itulah yang dialami Tyson, dia bukan anak manis, dia bukan lelaki kalem. Pompaan energinya justru maksimal dan eksplosif kalau ia berkarakter sebagaimana dia yang asli, yakni brutal dan animal-like. Padahal waktu itu dia datang ke arena dengan mengenakan jaket kulit tebal yang bertuliskan "Be a Real Tyson". Tapi dia malah bertarung lawan Lewis dengan melanggar bunyi Jaket itu.
Dulu kita pernah mengejek musuh bebuyutan kita yang setelah juara, lalu tahun depannya terdegradasi. Padahal pada saat itu kita belumlah menjadi “apa-apa”, belum satu gelarpun yang kita dapatkan selain Juara Galatama. Salah satu tuduhan yang terlontar atas apa yang menimpa Persebaya adalah karena sepakbola kita tidak punya kepribadian. Tapi teori ini bisa tidak berlaku, karena Belanda pernah hanya sekedar jadi penonton di Piala Dunia, Italia diluluh lantakkan oleh Negaranya Park Ji-Sung, dan contoh-contoh lain dari kekuatan-kekuatan utama sepakbola yang juga pernah dipermalukan. Kesebelasan Jerman termasuk salah satu yang paling diperhitungkan, juga sudah bertahun-tahun tidak mendapatkan gelar juara, tidak seperti di jaman Gerd Muller, Beckenbauer dulu.
Dalam konteks Arema, akhir-akhir ini kita semakin merasakan bagaimana hilangnya karakteristik “Arema” dalam tubuh Arema Fc dan Aremania itu sendiri. Karakteristik “Arema” yang egaliter, dengan rasa persaudaraan yang sangat tinggi antar sesama masyarakat Malang Raya secara khusus, dan Aremania secara luas, keengganan untuk berada di garis depan, dan memilih cukup jadi pendukung utama karena merasa tidak pantas jadi pemimpin, perlahan mulai menghilang dari sendi-sendi kehidupan Arema. Pertarungan memperebutkan kekuasaan yang terjadi di elite Arema menjadi bukti bagaimana sekarang karakter dan kepribadian itu perlahan mulai menghilang. Semuanya merasa dialah satu-satunya, yang berhak memimpin dan memiliki Arema, akhirnya terpecalah Arema, karena semuanya merasa jadi pemimpin, paling benar, dan sang penyelamat.
Tidak ada lagi karakter orang Malang yang cenderung kadang merasa tidak mampu memimpin, bukan rendah diri, tapi rendah hati. Perpecahan inipun mengakibatkan karakter persaudaraan juga semakin menghilang, saling menghina karena berbeda liga, tidak suka jika Arema yang satu menang, menghina ketika yang lain kalah. Padahal, jika kita ingat, Arema yang ada sekarang (baik ISL maupun IPL) dilahirkan dari rahim yang sama, pada saat yang bersamaan, 11 Agustus 1987, berkantor di Kota Malang, berlogo kepala singa, dengan warna kebesaran Biru, dan yang terpenting memiliki supporter yang sama-sama bernama Aremania.
Karakter-karakter yang hilang inilah yang harus dikembalikan, harus kembali dimiliki oleh para elite Arema, agar rasa persaudaraan sebagai sesama Arema kembali dapat kita rasakan, tidak ada lagi perpecahan, kembali memiliki rasa persaudaraan, tidak saling menghina, saling mendukung, demi kejayaan satu nama Arema. Karena dengan berkarakter, kita akan menjadi kuat, kita akan tetap menjadi Arema, yang sangat Satu Jiwa.
Kita (pernah) disatukan dengan satu nama Arema, kita disatukan dengan lambang Kepala Singa, kita sama-sama bangga disebut sebagai Aremania, dimanapun kita, kita selalu mengaku kalau kita Arema. Pada dasarnya kita adalah keluarga, keluarga dalam sebuah keluarga besar bernama Arema, jadi ketika keluarga ini terpecah dan tersakiti apakah kemudian kita akan ikut-ikut untuk semakin memperburuk kondisi ini, tidak inginkan kita semua (baik yang di tataran elite maupun alit) berada dalam satu tempat dan tujuan untuk memajukan Arema.
Arema menjadi juara, ketika hanya ada “Arema”, tidak menjadi Arema ISL mapun Arema IPL. Arema berjaya hanya ketika ada Satu Arema. Perpecahan dimanapun, tidak akan pernah membuat baik, sebaliknya, hanya akan memimbulkan keburukan bagi yang memecah maupun dipecah. Apalagi jika yang terpecah adalah Arema, Jiwa dari sebagian besar masyarakat Malang Raya secara khusus dan Aremania dimanapun berada. Mengutip Novel terkenal karangan JK. Rowling, yang berjudul Harry Potter, dalam salah satu dialog Novel tersebut dinyatakan, “Memecah Jiwa, bukan membuatmu menjadi semakin kuat, tapi justru membuatmu menjadi berada dalam kondisi dimana mati lebih baik, karena itu adalah perbuatan yang sangat Hina”. Memang Harry Potter adalah sebuah cerita fiksi, tapi cobalah kita rasakan efek dari perpecahan “Jiwa” kita menjadi Dua bahkan mungkin akan segera tiga, saya sendiri mulai sering menyatakan bahwa “Jika saja Degradasi dan tidak memiliki dana melimpah bisa membuat Arema menjadi satu lagi, Insya Allah saya ikhlas”.
Jika dilihat dalam kondisi riil Arema yang telah memiliki 2 Horcrux (Potongan Jiwa) ini, Arema ISL, meskipun mulai meningkat grafik permainannya semenjak dipegang Joko “Gethuk” Susilo, tapi tetap saja, kita masih ada di Papan Bawah. Bahkan ada kabar sebenarnya pemain Arema ISL juga belum menerima gaji beberapa bulan, entah benar atau tidak. Arema IPL malah lebih “hancur” lagi, Internal yang selalu bergejolak, ada api-api yang belum benar-benar mati dan bisa membakar sewaktu-waktu, ditinggalkan sang Kapten dan beberapa pemain lain yang memilih mundur karena kondisi tim yang tidak kondusif beserta gaji yang katanya juga belum dibayar. Dan kini, muncul bibit horcrux ketiga, lalu mau bagaimana lagi kita, Aremania ?.
Pendapat saya, Aremania, sebagai “pihak” yang netral dan merupakan “hakim” utama Arema, haruslah menjadi pendorong bagi “rujuk-nya” kembali 3 horcrux ini, agar bisa kembali menjadi “Arema Indonesia” bagaimana caranya,? Banyak hal yang bisa kita lakukan, termasuk dengan sedikit “tega” memboikot laga-laga Arema, meskipun itu juga sangat menyakitkan bagi Aremania, tapi bagi saya itu adalah representasi kekecewaan dan bentuk protes atas segala hal buruk yang terjadi di Arema. Yang jelas, Aremania harus bergerak, menyatukan kembali Horcrux-horcrux yang sudah terlanjur berserakan, dan kembali hanya sekedar menjadi, Arema Indonesia.
Yang perlu kita ingat, ini adalah Arema, keluarga kita. Merubah sedikit dari apa yang seringkali dilontarkan Liverpudlian,
Arema, It’s not a badge, It’s Family Crest.
Sumber:
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar