Sudah sepantasnya para elit politik kita mawas diri, terutama bagi mereka yang suka memelihara konflik dan mendapat keuntungan materi dari iklim sepakbola yang tidak kondusif. Para jampuk kesiangan ini laksana getah yang dibawa ke semak, perkara yang sudah kusut menjadi teramat kusut karena perbuatan mereka.
Apakah layak para elit itu masih terus bermain dalam bara konflik, menciptakan banyak halilintar namun tiada hujan yang tercipta, sementara tidak sedikit korban yang berjatuhan disana-sini baik Tim Nasional, klub hingga para pemain.
Dua tahun terakhir sepakbola Indonesia laksana berjudi dengan nasib. Konflik pelik yang melahirkan dualisme kompetisi bukannya melahirkan kekuatan terbaik untuk mendorong Indonesia bersaing dalam tatanan sepakbola Asia, namun hanya menghasilkan kebanggaan semu, kemenangan sorak meski kalah bersabung.
Rasanya baru kemarin kita menyaksikan Timnas Indonesia jatuh ke jurang keterpurukan, para suporter yang menjadi tumbal konflik, dan kini Diego Mendieta pemain Persis Solo di Divisi Utama PT Liga Indonesia meregang nyawa di tengah minimnya aksi manusiawi oleh para elit yang masih memikirkan perutnya sendiri ketimbang nasib sesama manusia.
Diego Mendieta meninggal dunia setelah terserang virus yang menjalar ke bagian tubuh hingga otaknya, serta jamur candidiasis di bagian tenggorokan hingga pencernaan. Pemain yang lahir pada 13 Juni 1980 ini meninggalkan sepakbola Indonesia dengan menyisakan kisah ironis dan menjadi tamparan telak bagi stakeholder sepakbola Indonesia yang bertikai.
Enam bulan sisa kontraknya bersama Persis Solo senilai 120 juta rupiah belum terbayar hingga ajal menjemputnya. Pun demikian dengan bonus penampilannya di Batik Cup lalu. Padahal jika dikalkulasi nilai 120 juta untuk jangka enam bulan sebenarnya bukanlah beban berat untuk diselesaikan dibandingkan omzet rata-rata klub Divisi Utama Liga Indonesia yang lebih besar nilainya daripada itu.
Namun angka 120 juta rupiah itulah harga yang harus ditebus Diego Mendieta dengan nyawa. 120 juta rupiah itu pula nominal yang menjamin harkat hidup dan meraih asa gembira bagi Diego yang tidak dapat pulang ke negaranya karena menunggu pembayaran hak yang terkatung-katung. Tidak jelas siapa yang mesti bertanggung jawab pasca manajemen Persis Solo 'membubarkan diri' selepas berakhirnya kompetisi musim lalu.
Selama menunggu hak-hak yang tak kunjung terbayarkan Diego masih setia menemani klubnya bermain. Ia melakukannya meski tidak ada bantuan, biarpun itu hanya berupa paksaan atau punishment dari operator kompetisi kepada klub membayar kewajibannya. Perhatian saja minim, bantuan apalagi. Ironis!
Perhatian kepada Diego justru datang dan ditunjukkan Pasoepati(Suporter Persis Solo) dan FX Hadi Rudyatmo(Walikota Solo)ketika ia terbaring di rumah sakit. Para elit nampaknya harus melek dan membayangkan kesedihan yang harus ditanggung keluarga, istri dan anak-anak Diego. Mereka(keluarga Diego) melepas Diego ke Indonesia untuk memutar roda penghidupan keluarga, apa daya yang terjadi justru kisah sebaliknya, Diego harus berpulang selamanya menghadap Sang Khalik.
Peristiwa meninggalnya Diego Mendieta adalah buruknya potret perhatian para elit, baik pengurus organisasi(KPSI/PSSI), operator kompetisi(PT LI) hingga pengurus klub. Tak terhitung berapa liter kucuran keringat pengorbanan dan andilnya untuk menjaga berputarnya klub dan citra kompetisi. Diego nyaris hidup menjadi 'sukarelawan'.
Para elit sepakbola Indonesia harus instrospeksi. Perhatian kepada para pemain sungguh terbilang minim. Kejadian yang dialami Diego Mendieta bukanlah pertama kali. Sebelumnya alm. Jumadi Abdi(PKT Bontang) meninggal pasca pertandingan melawan Persela di tahun 2009 lalu. Masih gres kejadian yang menimpa Iqbal Samad(Persiba) ketika mengalami cedera parah pada kakinya pasca terkena petasan yang diakibatkan oleh penonton di Samarinda tidak mendapat tanggapan serius dari operator kompetisi. Alih-alih mengambil tindakan untuk memberikan perlindungan kepada para pemain, malah tidak ada aksi intensif dari operator kompetisi untuk mencegah peristiwa berulang dikemudian hari.
Tindakan dan perhatian bukan saja pada bentuk kepastian terbayarnya hak pemain oleh masing-masing klub, namun juga perlindungan kesehatan berupa asuransi dan perawatan rumah sakit yang memadai. Terkadang tidak semua pemain dibayar 'mahal' oleh klub baik dalam bentuk materi dan fasilitas. Sebagian dari mereka hanya mendapat bayaran 'sepantasnya' meski dituntut ekspektasi sebegitu tinggi oleh klub untuk mendapat prestasi setinggi-tingginya.
Apa yang menimpa Diego Mendieta dapat terjadi pada para pemain di klub dan kompetisi lain. Terutama bagi para pemain yang berlaga di bawah level kompetisi profesional, dan sejujurnya mendapat fasilitas kesehatan dan kesejahteraan jauh dibawah para pemain yang berada di level kompetisi diatasnya.
Diharapkan para elit politik yang masih terus berlindung dalam kubangan konflik ini tidak saling lempar batu dan tunjuk tangan atas kejadian yang menimpa Diego Mendieta. Patut menjadi cermin bagi para elit tersebut untuk tidak banyak menebar opini destruktif dan jaga image di depan media semata.
Diego Mendieta memang bukanlah 'anak bangsa' Indonesia. Ia sebagai pemain sepakbola dilindungi hak-haknya sesuai dengan aturan yang digariskan FIFA. Dengan statusnya sebagai pemain dan warga negara asing(WNA) patut menjadi perhatian para elit yang masih menjaga kredibilitas politik individu dan kelompoknya dibandingkan kredibilitas bangsa dan keselamatan para pemainnya.
Mungkin saja perhatian 'semu' dari para elit tersebut tidaklah cukup untuk mencegah kejadian berulang. Diperlukan regulasi yang adil dan membela hak para pemain. Jika perlu penerapan sanksi yang tegas, mengikat dan konsisten harus dilakukan. Hilangkan pula budaya kompromi dan kongkalikong yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja dan mengabaikan hak para proletar seperti halnya para pemain sepakbola kita.
Kaum elit tersebut harusnya sadar, sepakbola bukanlah ajang perjuangan politik. Sepakbola mengajarkan kita akan pentingnya fair play, berlakulah adil bukan kepada pimpinanmu namun juga para pemain yang kalian tegakan untuk diperas keringatnya. Sepakbola bukan pula ajang hingar bingar dan kemeriahan kompetisi tanpa mengacuhkan sisi manusiawinya.
Memang tidak salah Erwiyantoro, penulis Buku 'Sepakbola Indonesia Tertinggal 50 Tahun' sekarang saatnya kedua lembaga PSSI dan 'KPSI' harus legawa untuk instrospeksi agar memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan pembenahan agar tertib administrasi, disiplin organisasi dan profesional menjalankan roda manajemennya.
Sudah cukup pelanduk mati terinjak ditengah gajah bertarung.......
#RIPDiegoMendieta
Kami tidak mengenalmu, kami juga bukan saudaramu, namun doa kami akan senantiasa menyertaimu. Semoga kau tenang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar