Meninggalkan AREMA, Bukan Pilihan Bijak

Diposting oleh Summer Coffee on Jumat, 10 Februari 2012

Seorang bijak pernah menyatakan, “terkadang, Sang Juara, tidak perlu memegang piala”, jadi sang juara sesunggunya tidaklah pernah ditentukan oleh hitung-hitungan berada di urutan berapa dia, seberapa cepat catatan waktunya, seberapa lama dia bisa bertahan. Menurut Emha Ainun Nadjib, sesungguhnya yang disebut sang juara, atau eksistensi sebuah kemenangan, hakekatnya tidak berlaku begitu sebuah pertandingan berakhir dan tanda kejuaraan disematkan kepada sang juara.

Sebuah tim ataupun seorang atlet yang yang dapat memenangkan sebuah perlombaan ataupun kejuaraan, sehingga sesudah kejuaraan ia dijunjung sebagai sang juara. Akan tetapi, yang selalu perlu kita ingat, ketika sebuah perlombaan ataupun kejuaraan dilangsungkan kembali, maka tidak seorangpun bisa memastikan bahwa sang juara akan pasti menang lagi, begitu Cak Nun mengingatkan.

Begitupun Arema Indonesia, tidak ada seorangpun yang memastikan Arema Indonesia akan mengulang permainan indah dan menghibur, serta meraih gelar juara seperti musim lalu. Tidak ada yang bisa memberi kepastian kondisi dalam tim akan se-kondusif musim lalu meskipun gaji belum turun. Dan ternyata, memang itulah yang terjadi, musim ini, ternyata memang tidak seindah musim lalu.

Permainan tidak seindah ketika di tangan Robert, manajemen tidak sekompak musim lalu, bahkan musim lalu-pun sebenarnya juga tidak bagus. Pemain, tidak segembira musim lalu dalam bermain, mereka seolah kehilangan sifat kekanak-kanakan mereka dalam bermain bola yang penuh dengan kegembiraan.

Kembali pada tahun 1974, dimana Joe Frazier melawan Muhammad Ali, seperti yang diceritakan Cak Nun. Joe Fraizer tidak sanggup bangkit dari kursinya untuk memasuki ronde ke-15 pertarungannya melawan Muhammad Ali, sehingga petinju Philadelphia ini dinyatakan kalah TKO dari Ali. Yang terjadi sesungguhnya adalah, Muhammad Ali memiliki siasat dan kecerdasan yang Frazier tak punya. Keduanya sudah bertarung habis-habisan selama 14 ronde. Besoknya Frazier memuji Ali “Saya sudah timpakan kepada Ali ratusan pukulan saya yang biasanya merobohkan dinding, tetapi Ali tetap tegak…” sehingga secara fisik maupun mental Frazier tidak lagi sanggup berdiri pada ronde ke-15. Tetapi Ali, dia masih punya sisa ruang berfikir, secara fisik dia juga sudah hancur, bahkan mungkin lebih kecapekan dibanding Frazier. Tapi Ali punya sedikit kenakalan intelektual sehingga ia berkata kepada Tuhan, “Wahai Tuhan, tolong pinjamkan kepadaku sedikit saja tenaga yang Engkau jatahkan kepadaku untuk besok pagi, supaya aku bisa tampil di ronde terakhir ini dan besok aku tidur sepanjang hari…”

Ali Vs Fraizer

Maka ketika bel ronde ke-15 berdentang, Ali mengumpulkan seluruh tenaga untuk menegakkan diri, mencoba tampak gagah dan berlagak seakan-akan ia fit dan siap berkelahi lagi, sementara Frazier terduduk lunglai dan tidak sanggup berdiri. Ali menang, tapi sesuai dengan janjinya pinjam tenaga kepada Allah, maka sesudah duel itu Ali terbaring di rumah sakit, sementara Frazier nyanyi-nyanyi dan berjoget di diskotek. Jadi, kemenangan Ali itu relatif. Kalau sepuluh menit sesudah kemenangan Ali itu mereka diduelkan lagi, belum tentu Ali bisa menang.

Kalau di piala dunia setahun lalu sepuluh menit sesudah Spanyol menjadi juara lantas mereka dipertandingkan lagi, maka tak ada jaminan bahwa Spanyol akan menang. Sama seperti ketika musim lalu, seandainya liga diperpanjang beberapa pertandingan, maka belum tentu Arema Indonesia akan keluar sebagai Juara Liga Super Indonesia untuk pertama kalinya. Lebih tidak bisa dijamin lagi jika waktu kemudian berlalu ke bulan dan tahun. Siapa yang mengira Timnas Italia yang begitu jumawa di Piala Dunia 2006 tiba-tiba tampil melempem di 2010, padahal kekuatan mereka tidak banyak berubah.

Arab Saudi Seperti Memainkan Sepakbola Kampung Saat Di Hajar Jerman Di PD 2002

Jadi, sesungguhnya juara itu tidak ada, coba anda pikirkan, apa logika kualitatifnya kalau kesebelasan produser total football Belanda tidak bisa ikut piala dunia, sementara Arab Saudi saja bisa masuk meskipun dihajar Jerman pada Piala Dunia 2002, dengan gol seperti pertandingan sepakbola kampung. Terus kesebelasan Italia pada Piala Dunia 2010? Betapa tidak konsistennya kekuatan dan kekuasan dalam kehidupan manusia di muka bumi ini.

Lalu, kenapa kemudian kita harus marah kepada siapapun yang bisa kita jadikan tempat melampiaskan kemarahan ketika Arema Indonesia hancur luar dan dalam musim ini, termasuk ketika tidak menemukan pelampiasan kita sibuk menyalahkan diri sendiri. Atau seperti yang terjadi hari ini, kita (Aremania) ikut-ikut melakukan perbuatan seperti beberapa pengurus yang kita hina, meninggalkan tim disaat kondisi sulit. Meninggalkan pemain berjuang sendirian di lapangan, dan merasa Kanjuruhan adalah kandang bagi tim lawan. Mempercayakan semangat mendukung tim Kebanggaan kepada hanya sekitar 1.500 Aremania yang berkesempatan hadir di Kanjuruhan. Sebuah ironi besar Aremania telah hadir, sebuah ironi yang haruslah tidak terjadi dengan adanya Salam Satu Jiwa.

Akhir kata, kembali Cak Nun mengingatkan, "ketika kaya, sadarilah miskinmu. Tatkala menang, sadarilah kalahmu. Di waktu jaya, renungilah keterpurukanmu. Pada saat engkau hebat, ingat-ingatlah kemungkinan konyolmu. Seorang yang memiliki cinta sejati, tidak akan pernah meninggalkan sesuatu yang dicintainya sendirian, dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ketika yang dicintainya melakukan sebuah kesalahan, dia akan tetap berada disampingnya, untuk mengingatkan dan menuntunnya kembali ke “Jalan Yang Benar”, bukan malah mencaci dan meninggalkannya dalam kesalahan.

Bukankah bagi yang beragama Islam, Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan, “Bahwa Ketika ada Kemungkaran, maka rubahlah dengan Tanganmu, Jika tidak mampu, Rubahlah Dengan bibirmu, bila masih tidak mampu, maka cukuplah dengan hatimu, dan ingatlah, ini adalah selemah-lemahnya Iman”. Ibaratkanlah segala kesalahan yang terjadi dalam tubuh Arema Indonesia ini adalah sebuah kemungkaran yang dilakukan manajemen, pelatih dan pemain. Sehingga wajib bagi Aremania untuk kemudian melakukan perubahan, dengan tangannya, karena saya yakin Aremania adalah sekumpulan orang-orang yang memiliki Iman yang tinggi. Meninggalkan, bukanlah sebuah pilihan, karena itu menunjukkan akan ketiadaan Iman, ketiadaan kepercayaan Kepada Arema Indonesia, atau mungkin bahkan, ketiadaan Cinta kepada Arema Indonesia. It’s Time To Move, to Save Arema Indonesia.

Sumber
Penulis:




Related Post:

Komentari

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar